Pendahuluan
Surat Al-A’raf ayat 172-179 memuat pembahasan mendasar mengenai hakikat penciptaan manusia dan tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT. Rangkaian ayat ini dikenal sebagai “Ayat Mitsaq” yang mengisahkan Mitsaq (Perjanjian) antara Allah dan seluruh keturunan Adam.
Pembahasan ini menghimpun pandangan berbagai ulama tafsir terkemuka untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang makna ayat-ayat tersebut.
Teks Ayat dan Terjemahan
Ayat 172: Mitsaq Alast
Ayat 173: Menolak Dalih Warisan
Ayat 174: Penjelasan untuk Kembali
Ayat 175-176: Perumpamaan Orang yang Meninggalkan Ayat
Ayat 177-179: Konsekuensi Mengabaikan Fitrah
Pembahasan Komprehensif Berdasarkan Berbagai Tafsir
1. Hakikat Mitsaq (Ayat 172)
Perspektif Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Sayyid Qutb)
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menafsirkan ayat ini sebagai peristiwa yang terjadi di alam ruh. Menurutnya, Allah SWT benar-benar mengambil kesaksian dari seluruh keturunan Adam tentang pengakuan mereka terhadap ketuhanan-Nya. Peristiwa ini bukan sekedar metafora, melainkan realitas spiritual yang membentuk fitrah manusia.
Qutb menekankan bahwa setiap jiwa manusia memiliki ikatan dengan Tuhannya yang menjadi fondasi tanggung jawab mereka di dunia.
Analisis Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Quraish Shihab memberikan interpretasi yang lebih kontekstual. Ia menjelaskan bahwa ayat ini dapat dipahami sebagai gambaran tentang fitrah manusia yang secara alami mengenal dan mengakui keesaan Allah. Menurut Shihab, perjanjian ini merupakan bentuk persaksian yang dilakukan oleh setiap manusia melalui potensi ketuhanan yang telah dimilikinya sejak lahir.
Bukti-bukti ketuhanan tersebar di seluruh alam semesta, sehingga akal dan hati nurani secara fitrah mengetahui dan mengakui keesaan Allah.
Pandangan Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa ketika Allah menciptakan Adam, Dia menyeka punggung Adam sehingga keluarlah semua keturunannya hingga hari kiamat. Setiap manusia diciptakan dengan cahaya di antara kedua matanya, kemudian Allah menunjukkan mereka kepada Adam.
Hadits ini menguatkan interpretasi bahwa ‘Ahd Azali (Perjanjian Azali) ini benar-benar terjadi secara literal.
Tafsir Jalalain
Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa Allah mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka secara turun-temurun, sebagaimana mereka beranak-pinak. Allah menetapkan kepada mereka bukti-bukti yang menunjukkan ketuhanan-Nya serta memberikan mereka akal.
Kesaksian ini bertujuan agar mereka tidak berdalih di hari kiamat bahwa mereka tidak mengetahui keesaan Allah.
2. Menolak Dalih Warisan dan Ketidaktahuan (Ayat 173)
Para mufasir sepakat bahwa ayat ini menolak dua jenis pembelaan yang mungkin dikemukakan manusia di hari kiamat. Pertama, dalih ketidaktahuan tentang keesaan Allah. Kedua, pembenaran dengan mengikuti tradisi nenek moyang yang menyekutukan Allah.
Tafsir Al-Azhar (Hamka) menekankan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab personal yang tidak dapat dialihkan kepada siapa pun. Pengetahuan tentang keesaan Allah sudah tertanam dalam fitrah manusia, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
Tafsir At-Tabari memberikan penjelasan historis bahwa ayat ini turun dalam konteks masyarakat Arab yang sering berdalih mengikuti tradisi nenek moyang dalam menyembah berhala. Allah menolak dalih tersebut karena fitrah tauhid sudah tertanam dalam setiap jiwa manusia.
3. Tujuan Penjelasan Ayat (Ayat 174)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan terperinci agar manusia kembali kepada kebenaran. Tafsir Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penjelasan yang detail ini merupakan bentuk rahmat Allah agar manusia tidak tersesat dan dapat menemukan jalan yang benar.
4. Perumpamaan Orang yang Meninggalkan Ayat Allah (Ayat 175-176)
Perspektif Sayyid Qutb tentang ayat ini sangat mendalam. Ia menggambarkan kondisi jiwa yang telah diberi pengetahuan tentang kebenaran namun memilih untuk meninggalkannya. Perumpamaan anjing yang mengulurkan lidah melambangkan keadaan jiwa yang tidak pernah merasa puas dan selalu dalam kegelisahan.
Orang yang meninggalkan hidayah akan kehilangan ketenangan jiwa dan terus-menerus dilanda keresahan.
Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan tiga tahap degradasi spiritual: pertama, meninggalkan ayat-ayat Allah; kedua, diikuti oleh syaitan; ketiga, menjadi bagian dari orang-orang yang sesat. Perumpamaan anjing menunjukkan bahwa orang tersebut kehilangan martabat kemanusiaannya dan turun ke tingkat yang lebih rendah dari binatang.
5. Konsekuensi Mengabaikan Fitrah (Ayat 177-179)
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat terakhir ini menggambarkan takdir yang telah Allah tentukan. Allah telah mengetahui apa yang akan diperbuat makhluk-Nya sebelum menciptakan mereka, dan telah mencatatnya dalam Lauh Mahfuz sebelum menciptakan langit dan bumi selama lima puluh ribu tahun.
Analisis Quraish Shihab menekankan bahwa ayat ini bukan tentang predestinasi yang membatasi kehendak bebas manusia, melainkan tentang konsekuensi logis dari pilihan yang mereka buat. Mereka yang mengabaikan fitrah tauhid akan mengalami degradasi spiritual hingga kehilangan fungsi hati, mata, dan telinga untuk memahami kebenaran.
Integrasi Perspektif Berbagai Mufasir
Titik Temu Pandangan Ulama
Meskipun terdapat perbedaan dalam detail interpretasi, para ulama sepakat pada beberapa poin fundamental:
- Fitrah Tauhid: Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah mengenal Allah
- Tanggung Jawab Personal: Tidak ada yang dapat mengalihkan tanggung jawab moral kepada orang lain
- Konsekuensi Spiritual: Mengabaikan fitrah akan mengakibatkan degradasi spiritual
- Rahmat Allah: Penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan bentuk rahmat untuk mengembalikan manusia ke jalan yang benar
Perbedaan Nuansa Interpretasi
Literal vs Metaforis: Sebagian ulama seperti Ibnu Katsir cenderung memahami Mitsaq Alast secara literal, sementara yang lain seperti Quraish Shihab memberikan interpretasi yang lebih metaforis dan kontekstual.
Predestinasi vs Kehendak Bebas: Terdapat perbedaan penekanan antara takdir Allah dan kehendak bebas manusia dalam memahami ayat 179.
Relevansi Kontemporer
Tantangan Modernitas
Dalam konteks kehidupan modern, ayat-ayat ini memberikan panduan penting menghadapi tantangan sekularisme dan materialisme. Fitrah tauhid yang tertanam dalam jiwa manusia menjadi kompas spiritual di tengah gejolak kehidupan duniawi.
Implikasi Pendidikan
Pemahaman tentang fitrah tauhid memberikan landasan filosofis bagi pendidikan Islam. Proses pendidikan seharusnya menghidupkan kembali fitrah yang sudah ada, bukan menanamkan sesuatu yang asing bagi jiwa manusia.
Dimensi Psikologis
Ayat-ayat ini juga memberikan perspektif psikologis tentang kegelisahan jiwa yang terputus dari sumber spiritualitasnya. Perumpamaan anjing yang mengulurkan lidah menggambarkan kondisi psikologis modern yang ditandai dengan kecemasan dan ketidakpuasan berkelanjutan.
Kesimpulan
Surat Al-A’raf ayat 172-179 menyajikan gambaran komprehensif tentang hubungan fundamental antara manusia dan Tuhannya. Melalui integrasi berbagai perspektif tafsir, kita memperoleh pemahaman yang kaya tentang fitrah manusia, tanggung jawab moral, dan konsekuensi spiritual dari pilihan-pilihan yang dibuat dalam kehidupan.
Ayat-ayat ini mengajarkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat berdalih di hadapan Allah tentang ketidaktahuan mereka terhadap keesaan-Nya. Fitrah tauhid yang tertanam dalam setiap jiwa manusia menjadi sesuatu yang tidak dapat dibantah. Namun, Allah dalam rahmat-Nya tetap memberikan petunjuk melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan mengutus para rasul untuk mengingatkan manusia akan Mitsaq Alast tersebut.
Pesan utama yang dapat diambil adalah pentingnya kembali kepada fitrah, menggunakan seluruh potensi yang Allah berikan untuk mengenal dan beribadah kepada-Nya, serta menyadari bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang harmonis dengan Sang Khaliq.
Daftar Pustaka
- Qutb, Sayyid. Fi Zhilalil Qur’an. Kairo: Dar al-Shuruq, 1972.
- Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
- Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al-Azim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1419 H.
- Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir al-Jalalayn. Kairo: Dar al-Hadits, 2010.
- Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- At-Tabari, Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992.
- Al-Qurtubi, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1964.
- Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Tafsir al-Munir. Damascus: Dar al-Fikr, 1418 H.
Tinggalkan Balasan