Terkadang aku ingin sekali menguliti luka-luka lama. Luka yang menjamur dalam gelap, menumpuk tanpa pernah benar-benar hilang. Aku ingin mengupasnya satu per satu, hingga semuanya lepas sampai aku bisa bernapas dengan lega.
Begitulah hidup. Bukan karena aku belum rela. Bukan pula karena aku tak mampu memaafkan. Ini tentang bekas yang tak pernah benar-benar hilang. Ia bisa disamarkan, tapi tak pernah terhapus sepenuhnya.
Syukur
Syukur memang bukan obat ajaib, tapi ia sanggup meringankan beban. Syukur adalah titik terang kecil yang memberi ruang napas di dada yang sesak. Di tengah rutinitas yang berulang, di antara memori yang tak kunjung memudar, di sela pencaiaian yang kadang terasa hampa—syukur hadir sebagai penyeimbang.
Air Mata
Ada waktu di mana air mata tak sempat tumpah. Ia hanya menggenang di pelupuk mata, menolak jatuh. Tapi keberadaannya cukup untuk menyesakkan dada. Ia diam namun menghantam.
Bersama orang-orang tersayang, atau bahkan sendirian. Di sanalah kadang aku merasa bisa bernapas lebih lega. Merasa bebas karena tak banyak yang mengenalku.
Kembali pada Tuhan
Semakin banyak yang kualami, semakin dalam aku menyelami makna hidup ini. Pada akhirnya, semua kegelisahan kutitipkan kepada Allah SWT.
Di sanalah aku menemukan ketenangan. Di sanalah luka-luka berhenti menjerit. Dan di sanalah, aku menemukan bahwa setiap luka selalu punya jalan pulangnya sendiri.
Tinggalkan Balasan