Setelah lebih dari dua bulan abang menjadi santri, tibalah saat kunjungan kedua. Alhamdulillah, banyak perubahan positif yang tampak—dari cara berbicara, kedisiplinan, hingga rasa tanggung jawabnya. Namun, bagaimanapun ia tetaplah anak kecilku yang baru beranjak baligh. Meski tubuhnya kini tinggi besar melebihi ayahnya dan suaranya semakin dewasa. Ia tetap sulungku yang manja, yang selalu meminta perhatian dari bundanya.
Rasa ini bernama Rindu
Pagi itu, abang mulai rewel menanti kedatangan kami. Ia meminjam ponsel orang tua temannya, lalu menelepon dengan suara tergesa, “Bunda, kenapa belum ke sini? Bukannya Bunda janji membawakan kue talam durian kesukaan abang?” Aku menjawab dengan lembut, “Nak, kuenya sudah dibeli. Bunda sedang di jalan, sebentar lagi sampai.” Seketika aku merasakan, bahwa kue atau makanan apapun ternyata tak sebanding dengan arti kehadiran kami baginya.
Saat akhirnya sampai di pesantren, wajahnya berseri sambil berlari-lari kecil menghampiri kami. Senyumnya merekah, seolah menebus semua penantiannya sejak pagi. “Bunda, temani abang sampai sore jam 5 ya,” pintanya polos. Waktu seakan berjalan cepat hari itu. Kami ngobrol dan makan siang bersama. Hingga pukul lima sore, kami masih duduk bersama, bercerita, bercanda, dan tak lupa mengambil beberapa dokumentasi sebagai kenang-kenangan.
Air Mata itu masih ada
Perpisahan sore itu tetap menyisakan air mata seperti kunjungan kami sebelumnya, baik di pipiku maupun di pipinya. Aku yang seharusnya menguatkan, justru terisak lebih dulu. Anehnya, ia yang masih begitu muda malah menenangkan. “Jangan nangis, Bunda. Nanti abang nangis juga” ucapnya pelan. Tangisan itu bukan kelemahan, melainkan tanda betapa dalam rasa rinduku. Namun aku sadar, air mata tidak boleh melemahkan langkahnya. Ia sedang belajar menjadi pribadi yang lebih kuat, dan aku harus mengiringinya dengan doa dan kesabaran.
Perubahan Positif
Di sela pertemuan itu, ia bercerita dengan bangga. Katanya, kini ia punya banyak teman baru. Kadang-kadang ia juga mencuci bajunya sendiri. Ia juga dipercaya mengemban tanggung jawab di kamar asramanya sebagai penanggung jawab keamanan. “Abang kuat makan di sini, Bunda. Abang betahlah,” ujarnya meyakinkan kami. Mendengarnya membuatku terharu. Anak yang dulu sering mengeluh kini belajar hidup mandiri. Pesantren telah menjadi rumah keduanya, tempat ia berlatih disiplin, ibadah, dan persaudaraan.
Sebagai orang tua, tentu aku merindukan kehadirannya di rumah. Namun lebih dari itu, aku bersyukur melihat perkembangan mentalnya. Pesantren bukan sekadar tempat belajar ilmu, tetapi juga tempat menempa jiwa. Dari sana, ia belajar arti sabar, tanggung jawab, dan kebersamaan.
Doa Seorang Ibu
Entah mengapa hari itu, aku sulit menyembunyikan rasa rindu. Padahal 2 minggu lagi dia akan libur pasca ujian tengah semester ini. Aku tak ingin tangis ini menjadi beban baginya. “Nak, jangan jadikan tangis bunda sebagai pelemah imanmu. Jadilah kuat. Kami selalu mendukungmu,” bisikku. Ia tersenyum, lalu kembali meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
Dalam hatiku, aku berdoa lirih: semoga Allah menjaga setiap langkahnya, melapangkan dadanya, dan mengokohkan niatnya menuntut ilmu. Aku percaya, di balik rasa rindu yang kadang menyakitkan, ada keindahan besar yang Allah persiapkan.
Rindu yang Menguatkan
Hari itu kami pulang dengan hati campur aduk: lega telah bertemu, sedih harus berpisah lagi, dan bangga melihat perkembangan abang di pesantren. Perjalanan menjadi orang tua memang tidak mudah. Ada detik-detik ketika kita ingin selalu dekat, tapi justru harus belajar melepas.
Tinggalkan Balasan