EDELWEISS

By 2 bulan lalu 4 menit membaca
Menjadi anak tunggal bukanlah hal yang mudah. Tapi bukan pula sebuah kutukan. Dari kesendirian itu, aku belajar banyak hal—tentang rasa syukur, tentang cinta keluarga, dan tentang menjadi kuat bahkan sejak kecil.

Momen Keluarga: Kebahagiaan yang Tak Tergantikan

Sebagai anak tunggal, momen berkumpul bersama keluarga adalah hal yang paling aku nantikan. Saat lebaran, libur sekolah, atau ketika saudara datang berkunjung walau hanya sebentar, aku selalu merasa sangat bahagia.

Aku bahkan senang hanya dengan mendengarkan obrolan orang dewasa dan candaan para sepupu dari dalam kamar. Suara mereka seperti lagu pengantar tidur bagiku. Ketika rumah kembali sepi, aku sering merasa kosong dan sedih selama berhari-hari.

❃ ❃ ❃

Ketegasan dan Kemanjaan yang Bertumbuh Bersama

Menjadi satu-satunya anak di rumah membuatku menjadi pusat perhatian orang tua. Aku tumbuh dalam dua hal yang kontras: ketegasan dan kemanjaan. Dua sisi ini membentuk kepribadianku—ada kalanya aku menjadi pribadi yang tegas dan disiplin, tapi di sisi lain aku juga sangat emosional.

Aku mudah tersentuh, bahkan untuk hal yang sebenarnya bukan urusanku. Jika orang tuaku bertengkar atau saling diam, aku bisa merasa sangat bersalah. Aku merasa bertanggung jawab atas suasana rumah, meskipun aku tahu itu bukan salahku.

Saat Emosi Anak-Anak Bertemu Kenyataan Dewasa

Lucunya, semua perasaan itu sudah aku rasakan sejak aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Di usia yang harusnya dipenuhi canda dan bermain, aku sudah sibuk memahami suasana hati orang tuaku. Aku belajar menyesuaikan diri, menahan keinginan, bahkan menyimpan rasa bersalah hanya karena ingin membantu mereka merasa lebih ringan.

❃ ❃ ❃

Belajar Cukup dari Hidup yang Serba Terbatas

Kehidupan keluargaku jauh dari kata berkecukupan. Tapi karena aku tidak pernah tahu rasanya hidup dalam kelimpahan, aku tumbuh dengan perasaan cukup. Bahkan saat harus menyisihkan uang jajan untuk mencicil buku sekolah, aku tidak merasa kekurangan. Aku melihat bagaimana orang tuaku berusaha keras untuk mencukupi segala kebutuhanku. Dari situ, aku belajar bersyukur.

“Satu hal yang selalu aku ingat: aku tidak pernah belajar menjadi anak. Sama seperti orang tuaku yang juga tidak pernah diajarkan menjadi orang tua. Tapi kami semua sedang belajar.”

Kita Semua Sedang Belajar

Satu hal yang selalu aku ingat: aku tidak pernah belajar menjadi anak. Sama seperti orang tuaku yang juga tidak pernah diajarkan menjadi orang tua. Tapi kami semua sedang belajar. Kami tumbuh bersama, saling memahami, dan saling memperbaiki diri. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi anak atau orang tua yang lebih baik.

Apa Arti Hidup yang Sebenarnya?

Pada akhirnya, aku menyadari bahwa hidup bukan soal siapa yang paling lengkap atau paling bahagia. Hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai setiap perjalanan, baik saat sendiri maupun bersama.

Ketika kita tahu tujuan hidup kita, segalanya akan terasa lebih ringan. Sebab arti hidup yang sebenarnya bukan tentang sempurna, tapi tentang tumbuh dan saling memahami di tengah ketidaksempurnaan seperti bunga edelweiss yang tetap indah di tengah keterbatasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

EDELWEISS - HAYYUNADIRA
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%