9 06/2022 |
Banyak varian terminologi mengenai integritas. Integritas merupakan hal yang lazim kita dengar dalam kerangka reformasi birokrasi yang digaungkan saat ini. Barangkali tafsir yang paling mudah menurut orang awam mengenai integritas adalah kejujuran. Dari sudut pandang yang agak luas, Integritas bisa ditafsirkan sebagai kepribadian yang baik. Dari sisi bahasa integritas adalah kesatuan, keterpaduan yang bisa pula diartikan sebagai wujud konsistensi seseorang terkait lisan dan perbuatannya seperti yang difirmankan Allah berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. Ash-Shaff 2-3)
Sungguh, di antara hal paling buruk yang menimpa seseorang adalah terpisahnya perbuatan dengan ilmu. Ilmunya berada di satu sisi, sedangkan perbuatannya di sisi yang lain. Seorang Badui menemui Ibunda Aisyah r.a. yang menanyakan mengenai akhlak Rasulullah, kemudian dijawab “khuluquhu al-Qur’an” (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Begitulah potret Rasulullah yang konsisten antara lisan dan tindakannya dan itu pulalah sebagai modal besar beliau dalam melakukan ekspansi-ekspansi dakwah. Di tengah kaum quraisy, beliau adalah orang yang dikenal berintegritas. Pada suatu ketika beliau diminta menengahi pertikaian antara suku yang ada, di saat yang lain, ada pula beberapa orang quraisy yang menitipkan hartanya kepada Rasulullah.
Integritas dalam pelaksanaannya harus teruji dengan dimensi ruang dan waktu. Sehingga dalam konteks itu, integritas bisa juga dihubungkan dengan keteguhan dalam memegang prinsip. Contoh kalau ada Kepala Daerah atau anggota legislative yang 100 hari pertama begitu garang tapi tak berlanjut di waktu-waktu selanjutnya, atau ada orang yang memiliki sifat baik hanya ketika berada dalam tempat tertentu saja misalnya dalam konteks pekerjaan dia berintegritas, tapi ketika di rumah tidak, maka dalam kasus-kasus tersebut, predikat berintegritas tak bisa disematkan kepada mereka. Jadi integritas juga bermakna dimanapun berada dia selalu menunjukkan nilai terbaiknya. Kalau hanya berprilaku baik di tempat-tempat tertentu maka itu lebih dekat pada kemunafikan.
Pertanyannya sekarang adalah “Lalu kenapa kita harus repot-repot memikirkan integritas, integritas itu kan hubungannya dengan pekerjaan, pekerjaan itu kan dunia, dunia itu kan sementara ,,, dan sebagainya”. Kalau ada yang masih bertanya seperti itu berarti dia belum memahami islam yang menyeluruh. Bukankah salah satu tugas fungsional kita di muka bumi adalah sebagai memakmurkan bumi. Bukankah sebagai seorang manusia ada kewajiban kepada kita untuk selalu mengedepankan kualitas dalam beramal.
Pertanyaan selanjutnya adalah “Lalu apa hubungannya integritas dengan proses belajar yang kita jalani.” Salah satu hal yang kita inginkan berubah setelah belajar adalah Karakter (menjadi sesuatu) yang lebih baik. Output akhir belajar yang kita jalani adalah menjadi sesuatu. Dan menjadi sesuatu diawali dengan proses memahami sesuatu. Yang dengar belum tentu faham, dan yang faham belum tentu beramal dan yang beramal pun belum tentu konsisten dalam amalnya. Dan konsistensi bisa terwujud ketika sebuah nilai (gagasan) telah menjadi karakter dalam diri kita. Setidaknya ada beberapa karakter yang berdampak langsung terhadap cara kita berinteraksi dengan orang lain. Inilah yang kemudian diberi label sebagai integritas. Berikut ini penjelasan singkat mengenai hal tersebut.
Umat Islam punya 2 hal besar dalam masalah pengokohan akhlak ini yaitu pedoman dan teladan yang tokoh sentralnya adalah Rasulullah SAW yang kemudian diteruskan para sahabat dan seterusnya.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (Al-Ahzab : 21)
Tabiat Manusia dibentuk dari hasil didikan orang tua dan pengaruh lingkungan, yang biasanya tercampur ada tabiat baik namun ada juga tabiat buruk, namun seiring dengan proses pendidikan yang kita jalani, buah dari ketaatan disertai latihan terus menerus maka perlahan-perlahan akhlak buruk yang dimiliki bisa berkurang bahkan hilang dan digantikan dengan akhlak yang baik. Dalam hal memperbaiki akhlak, kita harus memiliki prinsip bahwa akhlak yang buruk bisa diubah dengan kesungguhan berusaha. Ada sebuah ungkapan mengenai ini yaitu “barang siapa yang membiasakan sabar maka Allah akan menjadikannya penyabar”.
Karakter ini bermakna cerdas dalam pikirannya yang kemudian berdampak kepada keterampilan dalam menjalani pekerjaannya. Jadi kecerdasan ini adalah produk akal. Akal laksana cahaya yang dilemparkan kepada hati sehingga memiliki kesiapan memahami segala sesuatu.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S. An-Nahl 78)
Jadi peran mata dan telinga sebagai pengumpul informasi (jendela akal) tak bisa dipisahkan dari keberadaan hati. Kecerdasan butuh rumah yang kondusif untuk bisa berkembang dengan baik yaitu hati yang bersih. Mengenai kecerdasan yang dikaitkan kondisi dunia kerja saat ini, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi isu penting.
Kecerdasan itu salah satu kuncinya adalah kemauan dan kemampuan mendengarkan, karenanya jumlah organ penangkap informasi (mata dan telinga) itu lebih banyak dari pada mulut. Ini menunjukkan bahwa kita memang harus terbuka terhadap berbagai macam informasi/masukan dari berbagai pihak. Jangan membuat tabir untuk pengembangan kecerdasan.
Beberapa varian kecerdasan yang diperlukan adalah (1)kecerdasan dalam menangkap dan mengelola informasi, (2)kecerdasan dalam memetakan masalah, (3)kemampuan dalam menghadirkan solusi. Kecerdasan manusia harus selalu diperbaharui, karena semakin hari tantangan bertambah, rintangan semakin banyak jenisnya, kompetitor semakin berinovasi. Jadi jangan merasa kita sudah selesai belajar ketika sudah wisuda. Wisuda hanya tanda bahwa kita pernah kuliah, wisuda bukanlah lonceng notifikasi yang menghentikan aktifitas belajar kita. Tentunya di atas semua itu, kita masih meyakini bahwa kecerdasan level tertinggi dari orang-orang beriman adalah orang yang paling banyak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.
Sesungguhnya kewajiban itu lebih banyak dari waktu yang tersedia. Gunakanlah skala prioritas dalam menentukan suatu aktivitas dimulai dari yang penting & mendesak, tidak penting tapi mendesak, penting tapi tidak mendesak, dan tidak penting/tidak mendesak.” Pelajaran penting dari ungkapan ini adalah bahwa kita punya waktu yang sangat terbatas, jadi jangan buang-buang waktu kita, terlebih hanya untuk hal-hal yang sebenarnya kita siasati dengan perencanaan dan antisipasi yang matang.
Bisa jadi keterlambatan kita dalam menghadiri majelis-majelis belajar kita misalnya, itu menjadi salah satu sebab yang memperlambat kita dalam meresapi ilmu tersebut. Meskipun acara tersebut memang baru dimulai setelah setelah semuanya hadir, tapi nilai di sisi Allah yang datang lebih dulu tentunya berbeda dengan yang datang terlambat.
Ada sebait kisah menarik dari Imam Sulaim Ar Razi, salah seorang ulama Syafi’ah yang meninggal tahun 447 H. Seperti yang diceritakan oleh Muammil bin Hasan bahwa pada suatu hari ia melihat pena Sulaim Ar Razi rusak dan tumpul, ketika ia memperbaiki penanya tersebut terlihat ia menggerak-gerakkan mulutnya, setelah diselidiki ternyata dia membaca Al Qur’an di sela-sela memperbaiki penanya, dengan tujuan agar tidak terbuang begitu saja waktunya dengan sia-sia.
“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
(Q.S. Al-Furqan : 2)
Hidup yang tidak teratur pada dasarnya adalah kegagalan kita dalam mengatur diri kita sendiri. Dan kegagalan mengatur diri sendiri merupakan salah satu penghambat kita dalam memberikan manfaat kepada orang lain
Di era ini, yang salah satunya dikenal era disrupsi, keteraturan menjadi sebuah kebutuhan kita dalam bekerja, berbisnis maupun menunaikan janji-janji kita. Seorang yang berintegritas tidak boleh asing dengan istilah Planning, evaluasi, pengendalian, pencatatan, dokumentasi, klarifikasi dan sebagainya. Meskipun penamaan istilah tersebut banyak dikenalkan oleh ilmuwan barat, namun secara substantif, sebenarnya aktifitas-aktifitas tersebut sudah lebih dahulu dicontohkan oleh Rasulullah beserta para Sahabat kemudian diikuti oleh Ulama sesudahnya.
Bagi kita yang pernah membaca sejarah pembukuan Al-Qur’an atau sejarah pembukuan Hadis, kita akan lihat sebuah keteraturan dan kehati-hatian yang luar biasa dalam setiap prosesnya. Jadi saat itu para ulama dan pengumpul hadis sudah punya yang namanya <i>Quality Control</i> dalam menseleksi hadis tersebut untuk dijadikan sandaran hukum. Pun dalam peperangan yang pernah diikuti Rasulullah dan para Sahabat, terlihat serangkaian persiapan yang rapi, ada pembagian tugas dan sebagainya. Kemudian hal ini diikuti oleh para penerusnya, contoh misalnya di Zaman Umar ada pembagian shift ketentaraan, agar seorang prajurit tetap bisa memberikan hak-hak pada keluarganya (istri dan anak-anaknya).
Muara dari keempat poin di atas adalah tersebarnya kebaikan yang kita miliki kepada sesama. Baik sesama muslim maupun sesama manusia. Karena integritas seorang muslim dapat dirasakan oleh seluruh alam. Memenuhi hajat sesama sebenarnya adalah bentuk ketaatan kita kepada Allah, dan semuanya akan kembali juga kepada kita. Bahkan do’a sekalipun akan berbalik kepada kita.
“Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).
Muara dari keempat poin di atas adalah tersebarnya kebaikan yang kita miliki kepada sesama. Baik sesama muslim maupun sesama manusia. Karena integritas seorang muslim dapat dirasakan oleh seluruh alam. Memenuhi hajat sesama sebenarnya adalah bentuk ketaatan kita kepada Allah, dan semuanya akan kembali juga kepada kita. Bahkan do’a sekalipun akan berbalik kepada kita.
Meskipun begitu, memberikan manfaat kepada sesama dengan memperhatikan nilai-nilai integritas tetap ada tantangannya. Tak semua orang suka dengan kejujuran, tak semua orang suka dengan kebaikan. Ketika ada yang berada di pihak benar , maka di sisi lain akan ada orang-orang yang berada di posisi sebaliknya. Keduanya ini akan selalu berkompetisi untuk saling meniadakan.
Ketika dalam masjid integritas bisa lebih terjaga, tetapi ketika integritas ini berinteraksi dengan aktifitas jual beli, sosial, politik, urusan publik, maka saat itulah sebenarnya perjuangan keteguhan dalam memegang integritas baru dimulai,. Orang-orang beriman di sepanjang zaman, ketika dia menunjukkan integritasnya, maka akan ada perlawanan. Dan dalam perlawanan itu ancaman degradasi integritas tentu saja akan lebih besar.
Di sinilah perlunya kita mengokohkan kolektifitas kita dalam memaksimalkan peran-peran besar untuk memberi kemanfaatan kepada masyarakat. Agar dalam perjalanan yang panjang ini ada yang “menarik tangan” kita, ketika kita terperosok ke dalam lubang-lubang degradasi tersebut.
9 06/2022 |
10 10/2020 |
6 09/2020 |
16 07/2020 |
15 07/2020 |
12 07/2020 |
S | S | R | K | J | S | M |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | 2 | 3 | ||||
4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 |
11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 |
18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 |
25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 |
10 komentar
Jumpar
Kamis, 12 Des 2019
Jazakallah khair, mantul
Unknown
Jumat, 13 Des 2019
Mantul…jaazakallay
NEGERI PASANG SURUT
Jumat, 13 Des 2019
🙏
NEGERI PASANG SURUT
Jumat, 13 Des 2019
🙏
Unknown
Jumat, 13 Des 2019
Mantap. Syukron
Unknown
Jumat, 13 Des 2019
Mantap. Syukron
Unknown
Jumat, 13 Des 2019
Mantap. Syukron
Unknown
Jumat, 13 Des 2019
Mantap. Syukron
Unknown
Jumat, 13 Des 2019
Mantap. Syukron
NEGERI PASANG SURUT
Jumat, 13 Des 2019
🙏